Suamiku
menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin
seperti aku.”
Aku
mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang
tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah
Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.” Suamiku
menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.” Bayi
kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa
lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia
menunjuk pada dirinya seraya
berkata: Ammat! Maksudnya
ia Ahmad. Kami berdua
sangat bahagia dengan
kehadirannya.
Ahmad tumbuh
jadi anak cerdas,
persis seperti papanya.
Pelajaran matematika sederhana
sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan
keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika
Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua.
Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik
ke punggung papanya. Entah
apa yang menyebabkan
papanya begitu berang,
mungkin menganggap Ahmad sudah
sekolah, sudah terlalu
besar untuk main
kuda-kudaan, atau lantaran banyak
tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah,
tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak
hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak
lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati
suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia
sedang menyelesaikan papernya
dan tak mau diganggu
oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun
demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan
pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir,
cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis
seperti kulitmu!”
Ahmad
menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang
ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di
tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada
yang pedih di hatiku. Ada yang
mencemaskan aku.
Cucuku
pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad
kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah
sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers
anak ini!”
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku
membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera
membersihkan dirinya di
kamar mandi. Aku,
wanita tua, ruang
dan waktu kurajut
dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi
menahan gelora di dada ini.
Pecahlah tangisku
serasa sudah berabad
aku menyimpannya. Aku
rebut koran di
tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang
tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia
merangkak di punggungmu!
Dan ketika aku
minta kau perbaiki,
kau bilang kau
sibuk sekali. Kau dengar?
Kau dengar anakmu
tadi? Dia tidak
suka dipipisi. Dia
asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali
ala Muhammad. Allahumma
Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai
Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu
di punggungmu, engkau
bermain berkejaran dengan mereka
Engkau bahkan menengok
seorang anak yang
burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika
seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah
kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai
karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya
Allah, bukankah begitu?
Lalu
kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa
tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan
tangan
seorang ayah yang didamba.
Dada
Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah
ini, permintaan seorang
yang akan dijemput
ajal yang tak
mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan
lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di
rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian
selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan
kemesraan, sentuhan dan
belaian, bukan hanya
pelajaran untuk menjadi jantan
seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata
mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua
terpaku di tempatnya.
Memang
tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan
suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua
laki-laki dewasa itu
kini belajar kembali.
Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya,
pura-pura merancang hari
depan si bayi
sambil tertawa-tawa berdua, membuka
kisah-kisah lama mereka
yang penuh kabut
rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya
di antara keduanya
Allah menitipkan perasaan
saling membutuhkan yang tak
pernah terungkapkan dengan
kata, atau sentuhan.
Kini tawa mereka
memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya
ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga
laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh
bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya
tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah
SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar